Mungkin sudah tabiatnya, penyakit ini suka menipu. Bukan hanya dari gejalanya, tapi juga namanya. Sehari-hari kita menyebutnya tifus saja. Padahal dalam istilah kedokteran “tifus saja” itu penyakit infeksi akibat kuman Rickettsia typhi. Yang sering kita sebut-sebut itu sebenarnya tifus karena infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.
Antara Salmonella dan Rickettsia sama sekali berbeda, meski nama belakangnya sama. Para dokter biasanya menyebut penyakit infeksi Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi sebagai demam tifoid atau tifus abdominalis. Memang agak susah dihafalkan oleh lidah awam. Tapi tak apalah. Yang penting, jangan sampai kita dibuat susah juga oleh penyakitnya.
Di Indonesia, penyakit ini boleh dibilang sebagai masalah lawas yang susah diberantas. “Demam tifoid masih merupakan masalah serius. Daerah endemiknya semakin meluas, terutama sejak krisis moneter,” tutur dr. Leonard Nainggolan, Sp.PD, dari Divisi Infeksi Tropik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Pada minggu pertama, gejala yang muncul sering mengecoh. Pasalnya, keluhan yang muncul mirip dengan infeksi akut lainnya. Demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, tidak nafsu makan (anoreksia), mual, muntah, rasa tidak enak di perut, batuk, mimisan, susah ke belakang atau kadang malah diare.
Akibat gejala yang tak khas ini, bukan hanya pasien yang sering tertipu. Dokterpun kadang keliru mendiagnosis dan tidak menyadari bahwa yang sedang dihadapi adalah S. typhi. Tak jarang gejalanya disangka demam berdarah, malaria, pneumonia (radang paru-paru), atau radang tenggorokan. “Anak saya panas sudah seminggu. Dokter pertama bilang demam biasa. Tapi diberi obat nggak sembuh-sembuh. Lalu saya bawa ke sini, malah divonis tifus,” keluh seorang ibu di ruang tunggu praktek dokter.
Infeksi S. parathypi menunjukkan gejala sakit yang lebih ringan ketimbang S. thypi.Itu sebabnya, dulu dokter membagi penyakit ini menjadi demam tifoid dan demam paratifoid. Setelah ditemukan bahwa kuman-kuman itu juga memiliki tipe A, B dan C, sebagian dokter mengelompokkannya lagi berdasarkan tipenya. “Namun sekarang istilahnya cuma satu : demam tifoid, tanpa membedakan kuman penyebabnya,” terang dr. Leonard.
Biasanya, dokter akan meminta pasien melakukan tes Widal. Susahnya, tes ini pun sering tidak bisa langsung dipakai sebagai dasar untuk mengambil kesimpulan. “Meskipun tes Widal-nya positif, belum tentu pasien positif demam tifoid,” papar dr. Leonard. Sebab tes ini bukan memeriksa ada tidaknya kuman S. thypi. Tapi, hanya memeriksa ada tidakny antibodi terhadap kuman itu. Padahal setiap orang yang pernah kontak dengan kuman ini pasti memiliki antibodinya. Tak peduli apakah ia menderita demam tifoid atau tidak.
Di Indonesia, kuman-kuman ini bagian dari kehidupan sehari-hari. Nyaris semua orang pernah kontak dengannya. Meski demikian, tidak berarti ter Widal sama sekali tak berguna. Hasil tes ini tetap dapat menunjang diagnosis. Dokter bisa mengambil interpretasi dari tinggi rendahnya antibodi. Semakin tinggi kadar antibodinya, semakin besar kemungkinan seseorang menderita demam tifoid.
Gejala-gejala khas inilah yang bisa membedakan demam tifoid dengan infeksi lainnya. Sebagai contoh, pada demam berdarah, lama demam tidak lebih dari satu minggu. Selain tes Widal, dokter kadang meminta pasien melakukan tes lain. Namanya cukup susah diingat : kultur empedu darah Gaal. Tes ini bertujuan memeriksa ada tidaknya kuman, bukan ada tidaknya antibodi. Caranya, sampel darah pasien dibiakkan di dalam media berisi makanan bakteri.
Jika S. thypi atau S. parathypi tumbuh dalam biakan, berarti pasien positif demam tifoid. Namun, jika tidak ditemukan di biakan tadi pun, bukan berarti pasien tidak menderita demam tifoid.
Menurut dr. Leonard, ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil tes negatif, tapi ternyata palsu. Jika sebelum tes pasien minum antibiotik, maka kuman tidak akan ditemukan pada saat dibiakkan. Selain itu, jika jumlah sampel darah yang diambil kurang dari 5 cc, bisa saja kuman juga tidak ditemukan, meskipun sebenarnya ada dalam darah.
Karena tingkat kesulitan diagnosis itulah dr. Leonard menyarankan agar pasien segera memeriksakan diri ke dokter jika demam tidak juga sembuh dalam tiga hari. “Jangan menunggu sampai parah,” tandasnya. Di sisi lain, dr. Leonard mengungkapkan, kejelian dokter dalam membaca gejala-gejalanya sejak dini merupakan kunci yang sangat penting. “Supaya pasien tidak berlama-lama menderita demam tifoid, tanpa diketahui secara jelas,” ulasnya.
Jika dibiarkan berlangsung terus-menerus, bukan tak mungkin penyakit ini akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius. Tanpa perawatan yang benar, agresi kuman bisa menyebabkan usus mengalami perdarahan. Jika berlangsung terus, kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya perforasi (kebocoran usus).
Namun, supaya terapi efektif, pasien harus mengimbanginya dengan diet yang tepat dan istirahat. Obat, diet tepat, dan istirahat merupakan trilogi yang saling menunjang. Dalam urusan diet, dr. Leonard memberikan catatan. Dulu, pasien demam tifoid hanya diberi bubur saring, lalu ditingkatkan perlahan-lahan menjadi nasi padat, seiring perbaikan kondisi klinisnya. Alasannya, makanan yang kasar dikhawatirkan dapat mengikis dinding usus yang sedang bermasalah, lalu menyebabkan luka dan akhirnya perforasi.
Namun, itu dulu! Setelah diteliti, makanan padat macam nasi pun ternyata tidak membahayakan dinding usus. “Asalkan rendah serat,” tandasnya. Karena tidak bisa dicerna, serat akan membuat feces lebih “berbentuk”, sehingga dikhawatirkan menimbulkan masalah pada saat kontak dengan dinding usus yang masih lemah.
Itu sebabnya, dr. Leonard menganjurkan pasien membatasi sayuran berserat tinggi seperti sawi, daun singkong dan kangkung. Wortel? Pisang? “Bolehlah. Seratnya ‘kan rendah,” katanya mempersilahkan. Jadi, jika biasanya kita dianjurkan banyak makan serat, khusus untuk kondisi demam tifoid, aturan ini boleh dimasukkan ke dalam laci. Aturan barunya, nasi padat oke, serat kasar no.
Aturan baru ini menjadi sangat penting, karena nyaris semua penderita demam tifoid mengalami penurunan nafsu makan. Padahal untuk mempercepat proses penyembuhan, pasien amat memrlukan asupan gizi yang cukup. Umumnya pasien mengeluh, bubur saring tidak menggugah selera makan. Maunya nasi padat, tapi takut makan karena sudah terbawa pandangan yang selama ini diyakini.
Dr. Leonard juga menandaskan, pemilihan jenis makanan harus diserahkan sepenuhnya pada pasien. Mau bubur saring, silahkan. Mau nasi padat, oke. Mau susu atau daging, terserah. Asalkan jangan makanan tinggi serat.
Selain diet yang tepat, pasien juga harus menjalani istirahat total. Dengan tirah baring (bed rest), diharapkan usus tidak banyak mengalami gerak, sehingga mempercepat proses penyembuhan.
Untuk mencegahnya, WHO dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menyarankan vaksinasi. Namun, ini bukan berarti vaksin hanya perlu buat orang-orang bule. Sebab, meskipun di Indonesia S. typhi ada di mana-mana, kita tetap tidak bisa menjamin bahwa kita pernah kontak dengannya. Dengan kata lain, kita pun perlu perlindungan.
Hingga saat ini, tersedia dua jenis vaksin, kapsul dan injeksi. Vaksin kapsul bisa diberikan mulai usia enam tahun dan perlu diulang tiap lima tahun. Sedang vaksin injeksi diberikan mulai usia dua tahun dan perlu diulang setiap dua tahun.
Namun yang paling penting dari semua itu, cegahlah kedatangan Salmonella selagi bisa. Biasakan hidup bersih, mencuci tangan jika berurusan dengan makanan dan minuman. Minumlah hanya air bersih, jika mungkin air matang. Soalnya, kuman Salmonella akan mati pada pemanasan 100 derajat celcius.
Jika hendak makan buah atau sayur yang tidak dimasak, pastikan telah dicuci bersih. Bukan hanya dengan air keran, tapi bilas juga dengan air matang. Tak harus air panas. Hal-hal seperti ini sering disepelekan, padahal bisa saja air keran pun telah tercemar Salmonella.
Selama ini kita mengenal demam tifoid identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah, akibat saniatasi yang jelek dan pola hidup yang kurang higienis. Betul memang. Tapi, dengan keteledoran kecil saja, kuman S. typhi bisa berkunjung ke rumah-rumah yang jauh dari kesan jorok.
Buktinya, rumah-rumah sakit kelas menengah ke atas pun tak pernah sepi dari kasus demam tifoid. Bedanya, menurut dr. Leonard, angkanya lebih sedikit dan kondisi sakitnya lebih ringan. Ini terutama karena status gizi penderita relatif lebih baik sehingga daya tahan tubuhnya pun bagus. “Kalau mereka demam, jangankan tiga hari, dua hari pun mereka langsung pergi ke dokter”.
Bahkan mereka yang telah menerapkan pola hidup bersih pun tidak terjamin seratus persen bebas dari demam tifoid. Mungkin saja pertemuan dengan Salmonella typhi terjadi ketika sedang minum cendol, makan gado-gado atau pecel di warung langganan. Untuk mencegahnya, apa pun makanannya, pastikan resik warungnya.
- Menerapkan pola hidup bersih pada kehidupan sehari-hari
- Mencuci tangan jika hendak berurusan dengan makanan dan minuman
- Mencuci dengan air masak buah atau sayur yang tidak dimasak
Oleh M. Sholekhudin
Intisari Desember 2004
Antara Salmonella dan Rickettsia sama sekali berbeda, meski nama belakangnya sama. Para dokter biasanya menyebut penyakit infeksi Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi sebagai demam tifoid atau tifus abdominalis. Memang agak susah dihafalkan oleh lidah awam. Tapi tak apalah. Yang penting, jangan sampai kita dibuat susah juga oleh penyakitnya.
Di Indonesia, penyakit ini boleh dibilang sebagai masalah lawas yang susah diberantas. “Demam tifoid masih merupakan masalah serius. Daerah endemiknya semakin meluas, terutama sejak krisis moneter,” tutur dr. Leonard Nainggolan, Sp.PD, dari Divisi Infeksi Tropik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Gejala Tidak Khas
Salmonella masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar. Di dalam tubuh, kuman ini bermarkas di usus halus, selanjutnya menerobos masuk ke pembuluh darah. Saat terjadi agresi ini, tubuh berusaha melawannya dengan memproduksi antibodi. Namun, gejala sakitnya baru muncul setelah 10 – 14 hari sejak masa invasi.Pada minggu pertama, gejala yang muncul sering mengecoh. Pasalnya, keluhan yang muncul mirip dengan infeksi akut lainnya. Demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, tidak nafsu makan (anoreksia), mual, muntah, rasa tidak enak di perut, batuk, mimisan, susah ke belakang atau kadang malah diare.
Akibat gejala yang tak khas ini, bukan hanya pasien yang sering tertipu. Dokterpun kadang keliru mendiagnosis dan tidak menyadari bahwa yang sedang dihadapi adalah S. typhi. Tak jarang gejalanya disangka demam berdarah, malaria, pneumonia (radang paru-paru), atau radang tenggorokan. “Anak saya panas sudah seminggu. Dokter pertama bilang demam biasa. Tapi diberi obat nggak sembuh-sembuh. Lalu saya bawa ke sini, malah divonis tifus,” keluh seorang ibu di ruang tunggu praktek dokter.
Infeksi S. parathypi menunjukkan gejala sakit yang lebih ringan ketimbang S. thypi.Itu sebabnya, dulu dokter membagi penyakit ini menjadi demam tifoid dan demam paratifoid. Setelah ditemukan bahwa kuman-kuman itu juga memiliki tipe A, B dan C, sebagian dokter mengelompokkannya lagi berdasarkan tipenya. “Namun sekarang istilahnya cuma satu : demam tifoid, tanpa membedakan kuman penyebabnya,” terang dr. Leonard.
Biasanya, dokter akan meminta pasien melakukan tes Widal. Susahnya, tes ini pun sering tidak bisa langsung dipakai sebagai dasar untuk mengambil kesimpulan. “Meskipun tes Widal-nya positif, belum tentu pasien positif demam tifoid,” papar dr. Leonard. Sebab tes ini bukan memeriksa ada tidaknya kuman S. thypi. Tapi, hanya memeriksa ada tidakny antibodi terhadap kuman itu. Padahal setiap orang yang pernah kontak dengan kuman ini pasti memiliki antibodinya. Tak peduli apakah ia menderita demam tifoid atau tidak.
Di Indonesia, kuman-kuman ini bagian dari kehidupan sehari-hari. Nyaris semua orang pernah kontak dengannya. Meski demikian, tidak berarti ter Widal sama sekali tak berguna. Hasil tes ini tetap dapat menunjang diagnosis. Dokter bisa mengambil interpretasi dari tinggi rendahnya antibodi. Semakin tinggi kadar antibodinya, semakin besar kemungkinan seseorang menderita demam tifoid.
Biakan Kuman
Dalam membuat diagnosis, dasar utama yang dipakai dokter adalah gejala yang khas. Umumnya, gejala itu muncul pada minggu kedua, meski kadang muncul juga pada minggu pertama. Gejala khas itu antara lain, demam terjadi terutama pada sore atau malam hari (suhu tubuh bisa mencapai 39 – 40o C), lidah berselaput, kesadaran terganggu, hati dan limpa membesar (hepatosplenomegali), serta nyeri tekan perut.Gejala-gejala khas inilah yang bisa membedakan demam tifoid dengan infeksi lainnya. Sebagai contoh, pada demam berdarah, lama demam tidak lebih dari satu minggu. Selain tes Widal, dokter kadang meminta pasien melakukan tes lain. Namanya cukup susah diingat : kultur empedu darah Gaal. Tes ini bertujuan memeriksa ada tidaknya kuman, bukan ada tidaknya antibodi. Caranya, sampel darah pasien dibiakkan di dalam media berisi makanan bakteri.
Jika S. thypi atau S. parathypi tumbuh dalam biakan, berarti pasien positif demam tifoid. Namun, jika tidak ditemukan di biakan tadi pun, bukan berarti pasien tidak menderita demam tifoid.
Menurut dr. Leonard, ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil tes negatif, tapi ternyata palsu. Jika sebelum tes pasien minum antibiotik, maka kuman tidak akan ditemukan pada saat dibiakkan. Selain itu, jika jumlah sampel darah yang diambil kurang dari 5 cc, bisa saja kuman juga tidak ditemukan, meskipun sebenarnya ada dalam darah.
Karena tingkat kesulitan diagnosis itulah dr. Leonard menyarankan agar pasien segera memeriksakan diri ke dokter jika demam tidak juga sembuh dalam tiga hari. “Jangan menunggu sampai parah,” tandasnya. Di sisi lain, dr. Leonard mengungkapkan, kejelian dokter dalam membaca gejala-gejalanya sejak dini merupakan kunci yang sangat penting. “Supaya pasien tidak berlama-lama menderita demam tifoid, tanpa diketahui secara jelas,” ulasnya.
Jika dibiarkan berlangsung terus-menerus, bukan tak mungkin penyakit ini akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius. Tanpa perawatan yang benar, agresi kuman bisa menyebabkan usus mengalami perdarahan. Jika berlangsung terus, kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya perforasi (kebocoran usus).
Batasi Serat
Meski suka mengelabui, untungnya, kedua Salmonella mudah ditumpas. Kita harus berterima kasih kepada para ilmuwan yang telah mengembangkan kloramfenikol, tiamfenikol, ciprofloksasin, ofloksasin dan antibiotik lain yang efektif terhadap kedua kuman itu. Dalam waktu kira-kira satu minggu, agresi kuman biasanya sudah bisa diredam.Namun, supaya terapi efektif, pasien harus mengimbanginya dengan diet yang tepat dan istirahat. Obat, diet tepat, dan istirahat merupakan trilogi yang saling menunjang. Dalam urusan diet, dr. Leonard memberikan catatan. Dulu, pasien demam tifoid hanya diberi bubur saring, lalu ditingkatkan perlahan-lahan menjadi nasi padat, seiring perbaikan kondisi klinisnya. Alasannya, makanan yang kasar dikhawatirkan dapat mengikis dinding usus yang sedang bermasalah, lalu menyebabkan luka dan akhirnya perforasi.
Namun, itu dulu! Setelah diteliti, makanan padat macam nasi pun ternyata tidak membahayakan dinding usus. “Asalkan rendah serat,” tandasnya. Karena tidak bisa dicerna, serat akan membuat feces lebih “berbentuk”, sehingga dikhawatirkan menimbulkan masalah pada saat kontak dengan dinding usus yang masih lemah.
Itu sebabnya, dr. Leonard menganjurkan pasien membatasi sayuran berserat tinggi seperti sawi, daun singkong dan kangkung. Wortel? Pisang? “Bolehlah. Seratnya ‘kan rendah,” katanya mempersilahkan. Jadi, jika biasanya kita dianjurkan banyak makan serat, khusus untuk kondisi demam tifoid, aturan ini boleh dimasukkan ke dalam laci. Aturan barunya, nasi padat oke, serat kasar no.
Aturan baru ini menjadi sangat penting, karena nyaris semua penderita demam tifoid mengalami penurunan nafsu makan. Padahal untuk mempercepat proses penyembuhan, pasien amat memrlukan asupan gizi yang cukup. Umumnya pasien mengeluh, bubur saring tidak menggugah selera makan. Maunya nasi padat, tapi takut makan karena sudah terbawa pandangan yang selama ini diyakini.
Dr. Leonard juga menandaskan, pemilihan jenis makanan harus diserahkan sepenuhnya pada pasien. Mau bubur saring, silahkan. Mau nasi padat, oke. Mau susu atau daging, terserah. Asalkan jangan makanan tinggi serat.
Selain diet yang tepat, pasien juga harus menjalani istirahat total. Dengan tirah baring (bed rest), diharapkan usus tidak banyak mengalami gerak, sehingga mempercepat proses penyembuhan.
Vaksin Dan Pencegahan
Oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), demam tifoid dimasukkan ke dalam kelompok travelleris diseases, penyakit yang perlu diwaspadai para pelancong bule yang mau pergi ke negara-negara berkembang. Maklum saja, di negara-negara maju relatif tak banyak dijumpai masalah sanitasi dan higienis.Untuk mencegahnya, WHO dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menyarankan vaksinasi. Namun, ini bukan berarti vaksin hanya perlu buat orang-orang bule. Sebab, meskipun di Indonesia S. typhi ada di mana-mana, kita tetap tidak bisa menjamin bahwa kita pernah kontak dengannya. Dengan kata lain, kita pun perlu perlindungan.
Hingga saat ini, tersedia dua jenis vaksin, kapsul dan injeksi. Vaksin kapsul bisa diberikan mulai usia enam tahun dan perlu diulang tiap lima tahun. Sedang vaksin injeksi diberikan mulai usia dua tahun dan perlu diulang setiap dua tahun.
Namun yang paling penting dari semua itu, cegahlah kedatangan Salmonella selagi bisa. Biasakan hidup bersih, mencuci tangan jika berurusan dengan makanan dan minuman. Minumlah hanya air bersih, jika mungkin air matang. Soalnya, kuman Salmonella akan mati pada pemanasan 100 derajat celcius.
Jika hendak makan buah atau sayur yang tidak dimasak, pastikan telah dicuci bersih. Bukan hanya dengan air keran, tapi bilas juga dengan air matang. Tak harus air panas. Hal-hal seperti ini sering disepelekan, padahal bisa saja air keran pun telah tercemar Salmonella.
Selama ini kita mengenal demam tifoid identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah, akibat saniatasi yang jelek dan pola hidup yang kurang higienis. Betul memang. Tapi, dengan keteledoran kecil saja, kuman S. typhi bisa berkunjung ke rumah-rumah yang jauh dari kesan jorok.
Buktinya, rumah-rumah sakit kelas menengah ke atas pun tak pernah sepi dari kasus demam tifoid. Bedanya, menurut dr. Leonard, angkanya lebih sedikit dan kondisi sakitnya lebih ringan. Ini terutama karena status gizi penderita relatif lebih baik sehingga daya tahan tubuhnya pun bagus. “Kalau mereka demam, jangankan tiga hari, dua hari pun mereka langsung pergi ke dokter”.
Bahkan mereka yang telah menerapkan pola hidup bersih pun tidak terjamin seratus persen bebas dari demam tifoid. Mungkin saja pertemuan dengan Salmonella typhi terjadi ketika sedang minum cendol, makan gado-gado atau pecel di warung langganan. Untuk mencegahnya, apa pun makanannya, pastikan resik warungnya.
TIPS
3 Langkah Menghindari Kuman Salmonella- Menerapkan pola hidup bersih pada kehidupan sehari-hari
- Mencuci tangan jika hendak berurusan dengan makanan dan minuman
- Mencuci dengan air masak buah atau sayur yang tidak dimasak
Oleh M. Sholekhudin
Intisari Desember 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar